[FF] The SORROW TWILIGHT Part 8 2/2

kkangrii18.wordpress.com

Title : The SORROW TWILIGHT

Genre : Romance, Mistery,

Rate : STRAIGHT/PG -15

Lenght : chapter 8 2/2 [1976 words]

CAST :

* Kim Kibum – belongs to Key SHINee

* Jung Yong-Joo – belongs to Nicole KARA

*Jung Yeon-ah – belongs YOU-readers

* Lee Jinki – belongs to Onew SHINee

* Kim Haejin – belongs to Rhanthy Hapssary

and other support cast..

A.N :

Sumpah.. gag Pede banget publish chapter ini.. kayaknya ini chapter terhancur deh.. huhuhuuh.. makanya dibutuhkan koment, kritik, saran, dan lain-lain yah? mau bashing juga gag apa.. LoL

oyah.. di chapter ini gag ada puisi2an yah? Adanya di chapter selanjutnya…

========================================

Bagaimanapun juga ia tak ingin menganggu suasana itu. Hanya berharap dengan Kibum berada di samping Yeon-ah… adiknya akan segera tersadar.

*********************************************************

“SHITT!!” umpat Jinki.

“Apa ini? Aku tak bisa terima! Harusnya tadi itu… aishhhh!!” Emosi Jinki meluap-luap. Pertandingan telah usai, namun ia masih tak bisa menerima kenyataan. Kenyataan bahwa lawan mainnya memperoleh skor dengan cara yang picik. Ingin ia maki-maki sang wasit yang tidak lihai dalam memegang pertandingan.

“Sudahlah, yang terpenting kita kalah dengan cara yang terhormat. Kita sudah berusaha, tak ada yang perlu disesali”, ujar salah seorang teman Jinki.

“Well… kita kalah, impianku hancur sekarang”. Jinki meneguk botol yang berisi air mineral. Begitu seterusnya yang ia lakukan, meneguk air mineral hingga tak sadar berapa botol yang telah ia habiskan. Begitu kecewa… Semua teman, dan hoobae yang telah mendukung teamnya juga ia rasa kecewa. Namun kecewa yang ia rasakan, lebih besar dari semuanya.. sebagai seorang kapten basket.

“Kibum…,” pikirnya. Apakah jika bocah itu berada di sampingnya, berjuang bersamanya akan seperti ini jadinya? Namun ia tak bisa menyalahkan Kibum sepenuhnya. Harusnya sebagai kapten basket, Jinki tak bergantung pada siapapun – karena team-nyalah yang bergantung padanya. Jinki segera beranjak mengganti seragam basket yang kini telah basah dengan keringatnya dan juga air mineral yang tumpah dan ikut andil dalam membasahi seragamnya. Lapangan sudah sepi sekarang, hanya ada beberapa kawan seperjuangannya. Angin malam berhembus kencang menghiasi pekatnya malam, bagai turut serta kecewa atas kekalahan Jinki dan teamny. Jinki segera mengemasi barang-barangnya dan pulang. Langkahnya terhenti saat suara isak tangis terdengar samar di telinganya. Ia menoleh pada sumber di mana suara tsb berasal. Jinki menyipitkan sebelah matanya yang memang sudah sipit itu. Perlahan ia mendekati gadis yang sedang terduduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya.

“Haejin?” tebak Jinki. Tak ada balasan. Gadis itu masih terisak, dengan banner yang tergeletak di sampingnya.

“Salahkah aku mencintai seseorang yang mencintai orang lain..? Kenapa begini rasanya? Sakit…” Suaranya terdengar parau. Jinki turut serta duduk di sampingnya. Entah mengapa ia merasa iba dengannya. Haejin yang ia kenal sebagai sosok gadis yang ceria kini benar-benar terlihat rapuh – bagai meja yang nampak retak tertindih beban yang begitu kuat. Dan jika beban itu bertambah maka yang akan terjadi adalah hancur, meja itu akan hancur menjadi potongan-potongan kayu kecil. Begitu pula dengan Haejin.. ingin Jinki menghiburnya namun yang ia takutkan usahanya justru akan membuat Haejin bertambah rapuh dan akhirnya … Dengan hati-hati Jinki berkata, “Akan lebih sakit jika kau terus mencintai orang itu…” “Haejin… Lupakanlah dia. Relakanlah dia bersama orang yang ia kasihi. Karena cinta yang agung adalah ketika dia mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum sembari berkata ‘aku turut bahagia untukmu’…”, Jinki merengkuh Haejin dalam pelukannya, berusaha menenangkan gadis itu. Entah mengapa, Jinki begitu… Mungkinkah ia menyukai Haejin? Yeaa, dia memang menyukainya sebagai gadis yang ceria. Tapi ini… rasa yang berbeda saat merengkuh Haejin dalam pelukannya.

“Sudah malam… Ada baiknya jika kuantar kau pulang”. tawar Jinki.

“Sunbae.. Mengapa? Mengapa kau begitu baik padaku?”. Pertanyaan yang sedari tadi menggelitik pikirannya akhirnya terucap. “Aku.. Ahh, entahlah aku juga tak mengerti. Tapi kupikir, aku menyimpan simpati padamu,” ujar Jinki gugup. “Bisakah kau seterusnya menjaga rasa simpati itu untukku? Karena… kurasa aku mulai bersimpati padamu Sunbae…” “Eh?” Jinki bertambah gugup. Seharusnya Haejin yang merasa gugup, karena begitu terbukanya ia pada seorang pria yang bahkan sama sekali tak akrab dengannya. Namun dengan begitu, Jinki justru bertambah simpatik padanya. Haejin begitu polos… Terlintas dalam benaknya jika mereka menjalin hubungan, maka akan berlangsung lama… atas dasar saling terbuka di antara mereka.

“Ahh.. Lupakanlah sunbae. Kau benar, sebaiknya kita pulang. Kau sungguh-sungguh ingin mengantarku?” Haejin berusaha memastikannya. Jinki beranjak dari duduknya dan segera menggamit lengan Haejin… dan kemudian menggenggam tangannya, erat… memberi kekuatan baru dalam diri Haejin.

“Aku mohon… genggam tanganku terus sunbae.. Jangan pernah kau lepas… ” batin Haejin. Sementara itu berbagai hal berkecamuk dalam pikiran Jinki. Berusaha memahami apa yang ia rasakan, dan.. “Aku akan menggenggammu terus Haejin, dan takkan pernah kulepas…” batin Jinki. Begitulah kisah mereka ‘baru akan dimulai’. Kisah seorang gadis yang terluka hatinya, dan sang pria bagai penyihir yang mampu menyembuhkan luka gadis itu dalam sekejap.

************************************************************

Kibum terus terjaga semenjak tadi malam, ia berusaha melawan rasa kantuk yang menghinggapinya. Ia menjaga Yeon-ah semalam suntuk. Sementara itu, Nicole sedang terlelap di sofa yang terletak dalam ruangan tsb, hingga ia terjaga karena mendengar jeritan yang berasal dari ruang sebelah. Nicole ingat ketika terakhir kali ia melihat jarum jam, dan saat melihatnya lagi kini… menegaskan bahwa waktu telah bergulir dari malam menjadi pagi. Segera Nicole mendekati Kibum yang menurut dugaannya sudah bangun terlebih dahulu.

“Rupanya kau sudah bangun…” ucap Nicole, hanya sekedar basa-basi. Kibum hanya tersenyum mendengarnya.

“Matamu…” Nicole sedikit mencondongkan badannya kearah Kibum.

“Ya! Kau pasti tidak tidur! Lihat, matamu berkantung begitu..” Nicole sedikit kesal setelah mengetahui kebenarannya.

“Tidurlah sejenak.. Jika nanti Yeon-ah terjaga, aku pasti membangunkanmu” janji Nicole. Ia segera melangkah keluar ruangan menyadari bunyi yang berasal dari dalam perutnya. “Kau mau kemana?” Pertanyaan Kibum membuat langkah Nicole terhenti tepat di ambang pintu. “Aku hendak keluar membeli sarapan. Semenjak tadi malam aku belum melahap sesuap nasipun. Kupikir kaupun juga begitu.” Nicole kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Namun saat ia hendak keluar dari rumah sakit, ia kembali berpapasan dengan seseorang wanita paruh baya yang sangat ia kenal.

“Umma?” Nicole terheran dengan apa yang tergenggam di tangan ibunya

“Nicole? Kau mau kemana? Umma membawa sarapan untukmu… Kau pasti belum makan”, tebak Nyonya Jung. Nicole berusaha menerawang berapa bungkus yang ibunya bawakan.

“Kau membawa berapa Umma?” tanya Nicole, karena usahanya gagal.

“Hanya 3.. Untukmu, Umma, Yeon-ah. Kenapa memang?”

“Kalau begitu aku keluar sebentar untuk membeli satu bungkus lagi..” ujar Nicole seraya berlalu. Lagi-lagi Nicole terhenti saat ibunya mencegatnya.

“Tunggu…! Memang untuk siapa?” heran ibunya.

“Teman…” jawab Nicole singkat.

“Teman?” Nyonya Jung mengangkat sebelah alisnya,

“Teman Yeon-ah? Sejak kapan ia ada di sini?” sambungnya.

“Iya, dia teman Yeon-ah. Sejak tadi malampun dia sudah ada di sini”.

“Ohh…” Nyonya Park memutar bola matanya, berusaha mengingat sosok yang tadi malam ia temui saat menjenguk Yeon-ah. “Apa yang mengenakan seragam basket itu?” tanyanya lagi. Belum sempat Nicole menjawab, Nyonya Jung sudah kembali berkata

“Kalau begitu masuklah.. Bawa ini.. Biar Umma yang akan membelinya. Tidak baik meninggalkan seorang laki-laki sendiri bersama seorang perempuan…” Nyonya Park mengulurkan tangannya di mana tergenggam plastik yang berisi 3 bungkus nasi di sana.

“Gomawo..”. Nicole menerimanya dan segera kembali menuju ruangan tempat Yeon-ah di rawat.

“Cepat sekali..” ujar Kibum saat melihat Nicole kembali dengan apa yang dibawanya. “Kebetulan sekali, tadi aku bertemu dengan Umma yang ternyata membawa makanan…” “Beliau.. juga membawakan untukku?” Nicole mengangguk dan memberikan sebungkus nasi pada Kibum. Tinggal satu bungkus nasi dan kini tergeletak di meja. Kibum yakin bahwa makanan itu pasti ditujukan Nyonya Park untuk Yeon-ah. Na’as… Hingga saat ini Yeon-ah belum terjaga sekalipun – dan hasil CT Scan yang baru akan keluar nanti sore. Kibum tak suka kondisi seperti ini, di mana ia harus berkelit dengan berbagai kemungkinan yang muncul di benaknya. Penuh kontradiksi… Segera setelah Kibum menyelesaikan sarapannya, ia memutuskan untuk menghubungi Jinki. Setidaknya untuk menanyakan bagaimana pertandingan basket tadi malam.

“Yoboseyo..”

“Yoboseyo..” terdengar jawaban.

“Jinki bagaimana pertandingan tadi malam?” Kibum masih merasa tidak enak hati.

“Kita..kalah..” tergambar jelas kekecawaan terselip dalam nada suara Jinki.

“Setidaknya kalian sudah berusaha..” ujar Kibum berusaha menghibur.

“Ya benar, kami sudah berusaha tanpa dirimu Kim Kibum..”

“Mianhaeyo..” nada suara Kibum terdengar menyesal.

“Untuk apa? Kau tidak melakukan kesalahan apapun… Tak usah merasa begitu Kibum-ah. Bagaimana keadaan Yeon-ah?” ujar Jinki mengalihkan pembicaraan.

“Eh? Kau tau tentang hal ini?” Kibum balik bertanya. “Apa kau masih tak menganggapku sebagai sahabat? Ayolah Kibum, kau begitu khawatir tadi malam. Bagaimana aku tidak tahu?”

“Kau memang sahabatku. Selamanya… akan tetap sahabat” Jinki menangkap sesuatu dari pembicaraan mereka. Ia kembali menanyakan pertanyaan yang sebenarnya sudah ia tanyakan. “Nada bicaramu terdengar sedih. Yeon-ah baik-baik saja kan?”

“Dia belum sadar…”

“Apa aku boleh berkunjung ke sana?”

“Tentu saja. Kapan kau akan kemari?”

“Secepatnya..”

“Gomawo..” Kibum memutuskan sambungannya.

************************************************************

~ 15.00 ~

Sudah hampir satu hari penuh Kibum dan Nicole berada di rumah sakit, menunggu Yeon-ah tersadar. Namun apa daya, Yeon-ah tak kunjung membuka kelopak matanya. Khawatir? Tentu saja, Kibum dan Nicole di rundung kekhawatiran yang bertubi-tubi. Begitu pula dengan wanita itu, wanita yang tak lain adalah sang Ibu dari gadis yang sedang tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Kini mereka berada di ruang praktek Dokter Kim, menunggu hasil pemeriksaan CT Scan.

“Bagaimana hasilnya Dok?” Nicole yang sudah habis kesabaran mengawali pembicaraan ini.

” ………………. ”

“Dok..?!” Kali ini Nyonya Jung angkat bicara.

“Nyonya Jung, aku menyesal sekali harus menyampaikan ini pada Anda,” ujar Dokter Kim,

“Namun perlu diketahui bahwa kerusakan pada otak puteri anda sudah pada tingkat…” Dokter Kim menggantungkan kalimatnya. Kecemasan membayang diwajahnya ketika menatap hasil CT scan. Ia menghela nafas sesaat sebelum melanjutkan perkataannya.

“Sudah pada tingkat yang parah..” lanjutnya masih dengan kecemasan yang tergambar jelas di raut mukanya. Sebegitu parahkah? Hingga muka penuh wibawa seorang dokter tak nampak sama sekali.

“Puteri anda begitu beruntung bisa bertahan sampai sejauh ini. Menurut yang saya ketahui, gejala akibat benturan,, bisa terjadi langsung saat benturan itu – atau lucid interval, gejala yang baru di alami setelah benturan terjadi. Tenggang waktunya pun tidak lama, berkisar 1 minggu.. Namun ini.. baru diketahui setelah beberapa tahun…” Dokter Kim berusaha menyampaikan analisanya.

“Dok? Apa maksudmu?” Kibum yang seolah tak mengerti, meminta penjelasan lebih.

“Mungkin.. Yeon-ah hanya sanggup bertahan beberapa hari lagi.” Ucapan itu akhirnya terlontar dari mulut Dokter Kim. Interupsi yang merupakan kesimpulan dari segalanya.

“Aku sungguh menyesal menyampaikan hal ini pada anda”

“Tidak… Ini tidak mungkin…”, gumam Nicole. Kini butiran krystal menggenangi matanya dan akhirnya tumpah berupa butiran-butiran kecil yang membasahi pipinya. Kibum yang sangat rentan dengan isak tangis seorang gadis, merengkuh Nicole dalam dekapannya. Membenamkan kepala Nicole pada dada bidang Kibum. Membiarkan gadis itu menangis dalam dekapannya. Ia mengusap lembut puncak kepala Nicole.

“Yeon Ah akan baik-baik saja Nicole-ah, percayalah.” Kibum berusaha menenangkan Nicole, yang pada dasarnya juga menenangkan dirinya. Sementara Nicole memohon dalam hatinya agar Kibum tak melepas dekapannya, hanya untuk saat ini saja.

“Dokter, tidak adakah jalan untuk menyembuhkan puteriku?” tanya Nyonya Jung masih shock dengan kenyataan ini. Kenyataan? Well, setidaknya begitulah wajah-wajah manusia ‘sok tahu’ berpikir bahwa prediksinya tepat, dan akan menjadi kenyataan. Yeon-ah sanggup bertahan selama berbelas-belas tahun dan itu bukan merupakan suatu kebetulan. Ia memang gadis yang kuat, seperti inilah persepsi yang ada dalam benak Nyonya Jung.

“Kita hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Yeon-ah sekarang,” ujar Dokter Kim. Di sisi lain, Yeon-ah yang ternyata sudah sadar… dan menguntit percakapan mereka dibalik perkasanya dinding tembok yang mampu menyembunyikan sosoknya.. Hanya bisa berdiri termangu, membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya… Hingga akhirnya ia jatuh tersimpuh, tak kuat menopang beban berat badannya, tak kuat dengan apa yang baru saja ia dengar, tak kuat dengan apa yang ia lihat kini, tak kuat dengan bayangan hasil praduganya. Seluruh ototnya mati rasa, tak sedikitpun berkontraksi atau berelaksasi. Bagai praduganya benar adanya kini. Galau .. Kau tau itu? Ia merasa setengah hakikat hidupnya meninggalkan sang jiwa… Hingga tersisa sebagian, terselubung dalam kegalauan yang teramat sangat. Kini ia bergantung pada waktu, menunggu kapan saat itu akan tiba.. Saat sebagian raganya yang tersisa kan pergi bersatu dengan sebagian raga yang kini telah pergi.. Dan selanjutnya… kekosongan dalam jiwanya yang akan terjadi. Kehampaan abadi…

YEON-AH POV

“Seperti inikah kisah hidupku akan berakhir?” Aku bertanya pada diriku sendiri, meski aku tahu – aku tak mungkin bisa menjawabnya. Tangisku pecah kini. Aku tak sanggup.. Hatiku menjerit. Tuhan.. ini tidak adil! Mengapa tak kau ambil saja nyawaku saat kecelakaan itu. Ini akan lebih baik untukku, dan semuanya. Kini hasrat menggerakkan jiwaku, melangkahkan kakiku untuk berlari melawan kegalauan…melawan ketakutan, sakit hati… Berlari dan terus berlari…. Tak kupedulikan mereka yang sedang menatapku bingung. Tak kupedulikan rasa sakit yang menusuk-nusuk telapak kakiku. Hanya berharap.. dengan berlari semuanya akan reda, ketakutanku, kegalauanku, sakit hatiku kan terhempas bersama dengan angin yang berhembus. Dan akhirnya hasrat membawaku untuk kemari, ke tempat ini… di mana semua rasa indahku berawal dari tempat ini,, Tenang… Sepi… Kucoba untuk melupakan sejenak apa yang baru saja kudengar. Dan.. Berhasil. Kubawa alam pikiranku menjelajahi setiap memory indah di tempat ini. Bunyi desir angin mengiringi perjalanan menuju alam kembara. Terbuai aku sesaat, hingga suara seseorang yang cukup kukenal membawa pikiranku kembali ke alam nyata.

“Yeon-ah? Sedang apa kau di sini?”

====================T.B.C====================

©2010 Reann’s Story

Please comment.. ^^ If you have trouble just comment at my other account Facebook or Twitter

About kkangrii

| Moslem |

Posted on January 30, 2011, in Fan Fiction and tagged , , , , , . Bookmark the permalink. 2 Comments.

  1. hikz..hikz.. cdihnya.. knpa cma bbrpa hri ze, kgak skaliand slamax aja..

  1. Pingback: [FF] The SORROW TWILIGHT Part 8 1/2 « Reann's SHINING World

Leave a comment